Analisis Kesenjangan Regulasi Pengelolaan Bukti Elektronik di Indonesia

Bukti elektronik adalah salah satu jenis bukti yang semakin penting dalam dunia hukum. Bukti elektronik adalah data yang disimpan atau ditransmisikan melalui perangkat elektronik, jaringan, atau sistem komunikasi seperti komputer, ponsel, email, media sosial, dan lain-lain. Bukti elektronik dapat berupa teks, gambar, audio, video, atau kombinasi dari semuanya.

Karakteristik dan jenis bukti elektronik
Bukti elektronik memiliki beberapa karakteristik yang membedakannya dari bukti konvensional seperti kertas atau saksi. Beberapa karakteristik tersebut adalah:
1. Volatil
Bukti elektronik dapat dengan mudah diubah, dihapus atau dimodifikasi oleh pengguna, program, atau peristiwa lainnya. Oleh karena itu bukti elektronik memerlukan penanganan yang hati-hati dan cepat untuk menghindari kerusakan atau kehilangan data.
2. Duplikat
Bukti elektronik dapat dengan mudah diduplikasi atau disalin tanpa mengubah isi aslinya. Hal ini dapat memudahkan penyimpanan dan pengiriman bukti elektronik, tetapi juga dapat menimbulkan masalah autentikasi dan integritas data.
3. Tersembunyi
Bukti elektronik dapat disembunyikan atau disamarkan dengan berbagai cara, seperti enkripsi, steganografi, atau penghapusan log. Hal ini dapat menyulitkan penyidik untuk menemukan atau mengakses bukti elektronik yang relevan.
4. Terdistribusi
Bukti elektronik dapat tersebar di berbagai lokasi fisik atau virtual, seperti hard disk, server, cloud, atau perangkat lainnya. Hal ini dapat meningkatkan jumlah dan variasi bukti elektronik yang tersedia, tetapi juga dapat menimbulkan masalah yurisdiksi dan kerjasama lintas batas.

Berdasarkan sumber diperoleh bukti elektronik dapat dibagi menjadi beberapa jenis antara lain:
1. Bukti komputer
Bukti komputer adalah data yang disimpan atau ditransmisikan melalui komputer atau perangkat serupa, seperti laptop, tablet, atau flash disk. Contoh bukti komputer adalah dokumen, spreadsheet, database, email, log aktivitas, dan lain-lain.
2. Bukti telepon
Bukti telepon adalah data yang disimpan atau ditransmisikan melalui telepon atau perangkat serupa, seperti ponsel pintar, pager, atau faksimili. Contoh bukti telepon adalah panggilan suara, pesan teks, kontak, lokasi GPS, dan lain-lain.
3. Bukti internet
Bukti internet adalah data yang disimpan atau ditransmisikan melalui internet atau jaringan serupa, seperti intranet atau ekstranet. Contoh bukti internet adalah situs web, media sosial, blog, forum, email web-based, dan lain-lain.
4. Bukti multimedia
Bukti multimedia adalah data yang berisi informasi audiovisual atau multimedial yang disimpan atau ditransmisikan melalui perangkat elektronik. Contoh bukti multimedia adalah foto digital, video digital, rekaman suara digital, dan lain-lain.

Hukum Penggunaan Bukti Elektronik Dalam Proses Pidana di Indonesia
Penggunaan bukti elektronik dalam proses pidana di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan dan hambatan. Salah satu tantangan adalah menjamin keotentikan dan keaslian bukti elektronik. Menurut Pasal 5 ayat (1) UU ITE, bukti elektronik harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a) benar-benar berasal dari alamat atau identitas tertentu; b) dibuat atau diterima pada saat tertentu; c) tetap utuh dan tidak mengalami perubahan; dan d) dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Syarat-syarat ini bertujuan untuk mencegah manipulasi, pemalsuan, atau penyalahgunaan bukti elektronik.

Selain itu, tantangan lain adalah mengenai kewenangan dan kompetensi penyidik, penuntut umum, hakim, dan ahli dalam mengumpulkan, menyajikan, dan menilai bukti elektronik. Pasal 43 UU ITE mengatur bahwa penyidik berwenang melakukan penyitaan terhadap alat bukti elektronik dengan izin penyidik lain yang lebih tinggi jabatannya. Namun, dalam praktiknya, sering terjadi kesulitan dalam menentukan lokasi penyitaan bukti elektronik yang berada di luar wilayah hukum Indonesia. Selain itu, penyidik juga harus memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai dalam mengoperasikan perangkat elektronik dan mengamankan data-data yang relevan. Hal ini juga berlaku bagi penuntut umum, hakim, dan ahli yang harus mampu memahami dan menganalisis bukti elektronik secara objektif dan profesional.

Oleh karena itu, perlu adanya upaya-upaya untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas aparat penegak hukum dalam menghadapi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Selain itu, perlu juga adanya kerjasama antara pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat sipil dalam menciptakan iklim hukum yang kondusif bagi penggunaan bukti elektronik dalam proses pidana di Indonesia.

Penyimpanan Dan Perlakuan Bukti Elektronik di Indonesia
Dalam konteks Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mengatur tentang bukti elektronik dan cara mengajukannya di pengadilan. UU ITE juga memberikan kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penyitaan dan pemeriksaan terhadap perangkat elektronik yang diduga terkait dengan tindak pidana tertentu. Namun, UU ITE tidak menjelaskan secara rinci tentang prosedur penyimpanan dan perlakuan bukti elektronik yang disita oleh penyidik.

Hal ini menimbulkan beberapa masalah dan tantangan dalam praktiknya, khususnya untuk perangkat yang lebih besar seperti telepon, laptop, dan server. Beberapa masalah dan tantangan tersebut antara lain:

  1. Kurangnya standar teknis dan profesionalisme dari penyidik dalam melakukan penyitaan dan pemeriksaan bukti elektronik.
  2. Kurangnya fasilitas dan peralatan yang memadai untuk menyimpan dan mengamankan bukti elektronik dari risiko kerusakan, kehilangan, atau manipulasi.
  3. Kurangnya koordinasi dan kerjasama antara penyidik dengan ahli forensik digital yang dapat membantu dalam analisis bukti elektronik.
  4. Kurangnya kesadaran dan pemahaman dari hakim dan pengacara tentang karakteristik dan nilai probatif bukti elektronik.

Untuk mengatasi masalah dan tantangan tersebut, diperlukan beberapa langkah dan upaya dari berbagai pihak yang terlibat dalam proses peradilan. Beberapa langkah dan upaya tersebut antara lain:

  1. Meningkatkan kapasitas dan kompetensi dari penyidik dalam hal penanganan bukti elektronik, baik melalui pelatihan, bimbingan, maupun sertifikasi.
  2. Meningkatkan ketersediaan dan kualitas dari fasilitas dan peralatan yang digunakan untuk menyimpan dan mengamankan bukti elektronik, baik di tingkat kepolisian maupun kejaksaan.
  3. Meningkatkan kerjasama antara penyidik dengan ahli forensik digital yang dapat memberikan bantuan teknis dan saksi ahli dalam proses pemeriksaan bukti elektronik.
  4. Meningkatkan edukasi dan sosialisasi kepada hakim dan pengacara tentang pentingnya bukti elektronik dan cara mengapresiasinya secara hukum.

Dengan demikian, diharapkan bukti elektronik dapat menjadi alat bukti yang efektif dan efisien dalam menegakkan hukum di Indonesia, khususnya untuk kasus-kasus yang berkaitan dengan informasi dan transaksi elektronik.

Kerangka Hukum Bukti Elektronik di Amerika Serikat
Bukti elektronik juga memiliki tantangan tersendiri dalam hal pengumpulan, pemeriksaan, penyitaan, penyimpanan, dan penyajian di pengadilan. Oleh karena itu, diperlukan kerangka hukum yang jelas dan komprehensif untuk mengatur bukti elektronik di AS. Kerangka hukum ini meliputi aturan dan prosedur yang harus diikuti oleh pihak-pihak yang terlibat dalam proses bukti elektronik.

Salah satu aturan penting yang mengatur bukti elektronik di AS adalah Federal Rules of Evidence (FRE), yang merupakan kumpulan aturan yang menentukan kriteria dan standar untuk memasukkan bukti ke dalam pengadilan federal. FRE mengakui bahwa bukti elektronik dapat dianggap sebagai bukti tertulis atau dokumenter, asalkan dapat dibuktikan keaslian, relevansi, dan reliabilitasnya. FRE juga memberikan pedoman tentang bagaimana mengatasi masalah autentikasi, pengecualian hearsay, privilege, dan best evidence rule yang mungkin timbul dalam bukti elektronik.

Selain FRE, ada juga aturan dan prosedur lain yang berkaitan dengan bukti elektronik di AS, seperti Electronic Communications Privacy Act (ECPA), Stored Communications Act (SCA), Computer Fraud and Abuse Act (CFAA), dan Digital Millennium Copyright Act (DMCA). Aturan-aturan ini mengatur hak dan kewajiban para pihak dalam hal akses, pengungkapan, perlindungan, dan penegakan hukum terhadap bukti elektronik.

Dalam praktiknya, bukti elektronik memerlukan langkah-langkah khusus untuk mendapatkan, memeriksa, menyita, menyimpan, dan menyajikan di pengadilan. Langkah-langkah ini meliputi:

  1. Mendapatkan izin dari hakim atau pihak berwenang lainnya untuk mencari dan menyita bukti elektronik dari sumber-sumber tertentu.
  2. Menggunakan metode dan alat yang sesuai dan profesional untuk mengambil salinan atau gambar dari bukti elektronik tanpa merusak atau mengubah data aslinya.
  3. Menyimpan bukti elektronik dalam media yang aman dan terlindung dari kerusakan atau manipulasi.
  4. Membuat catatan atau laporan tentang proses pengambilan dan penyimpanan bukti elektronik, termasuk tanggal, waktu, lokasi, saksi, metode, alat, dan hasilnya.
  5. Memeriksa bukti elektronik dengan menggunakan perangkat lunak atau teknik forensik digital untuk menganalisis isi, konteks, sumber, dan karakteristik data.
  6. Menyajikan bukti elektronik di pengadilan dengan cara yang memenuhi persyaratan hukum dan teknis, seperti menunjukkan keaslian, relevansi, reliabilitas, dan integritas data.

Bukti elektronik adalah salah satu jenis bukti yang semakin penting dan umum dalam dunia hukum modern. Untuk itu, diperlukan pemahaman yang baik tentang kerangka hukum yang mengaturnya di AS. Dengan demikian, pihak-pihak yang terlibat dalam proses bukti elektronik dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawab mereka dengan benar dan efektif.

Regulasi hukum dan teknis pengelolaan bukti elektronik di Inggris
Regulasi hukum dan teknis pengelolaan bukti elektronik di Inggris merupakan topik yang penting dan menarik untuk dibahas. Bukti elektronik adalah segala informasi yang disimpan atau ditransmisikan dalam bentuk digital, seperti email, pesan teks, rekaman suara, video, data GPS, dan lain-lain. Bukti elektronik dapat digunakan dalam berbagai kasus hukum, seperti pidana, perdata, administrasi, dan arbitrase. Namun, pengelolaan bukti elektronik juga menimbulkan berbagai tantangan dan masalah, baik dari segi hukum maupun teknis.

Dari segi hukum, regulasi pengelolaan bukti elektronik di Inggris didasarkan pada beberapa sumber, seperti Undang-Undang Praktek Peradilan Sipil 1998 (Civil Procedure Act 1998), Peraturan Praktek Peradilan Sipil 1998 (Civil Procedure Rules 1998), Pedoman Praktek Peradilan Sipil 2013 (Civil Practice Direction 2013), dan Kode Etik Pengacara 2019 (Solicitors Regulation Authority Code of Conduct 2019). Secara umum, regulasi ini mengatur tentang kriteria, prosedur, tanggung jawab, dan sanksi terkait dengan pengumpulan, penyimpanan, pengungkapan, pemeriksaan, dan penilaian bukti elektronik dalam proses peradilan sipil. Regulasi ini juga memberikan pedoman tentang bagaimana mengatasi isu-isu seperti keaslian, integritas, relevansi, ketersediaan, kerahasiaan, dan hak cipta bukti elektronik.

Dari segi teknis, pengelolaan bukti elektronik di Inggris memerlukan kerjasama antara para pihak yang terlibat dalam proses peradilan, seperti pengacara, hakim, ahli forensik digital, penyedia layanan cloud, dan penyedia platform media sosial. Pengelolaan bukti elektronik juga memerlukan penerapan standar dan metode yang sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan etika. Beberapa standar dan metode yang sering digunakan dalam pengelolaan bukti elektronik di Inggris adalah Association of Chief Police Officers Good Practice Guide for Digital Evidence (ACPO GPG), International Organization for Standardization/International Electrotechnical Commission 27037:2012 (ISO/IEC 27037), dan Electronic Discovery Reference Model (EDRM).

Pengelolaan bukti elektronik di Inggris merupakan bidang yang dinamis dan berkembang seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Oleh karena itu, regulasi hukum dan teknis pengelolaan bukti elektronik di Inggris perlu terus disesuaikan dan diperbaharui agar dapat memberikan perlindungan hukum yang efektif dan efisien bagi para pihak yang menggunakan atau terkena dampak dari bukti elektronik.

Perbandingan prosedur untuk mendapatkan, memeriksa, dan mengelola bukti elektronik di Belanda, Amerika Serikat, dan Inggris
Belanda

Di Belanda, bukti elektronik dapat berupa data yang terekam dalam perangkat komputer atau sistem, atau data dari jaringan telekomunikasi publik atau penyedia jasa telekomunikasi. Untuk mendapatkan bukti elektronik tersebut, penyidik harus mendapat izin dari rechter commisaris (hakim penyidik) yang berwenang. Rechter commisaris dapat memberikan surat perintah penggeledahan dan perekaman data yang berisi tindak pidana yang diduga terjadi, nama atau deskripsi tersangka, dan fakta atau keadaan yang menunjukkan bahwa syarat-syarat penggeledahan telah terpenuhi. Penggeledahan dilakukan terhadap perangkat komputer atau sistem untuk mencari data yang tersimpan di dalamnya. Penyidik berhak menggunakan perangkat komputer atau sistem tersebut dengan persetujuan orang yang memiliki akses ke tempat yang digeledah. Data yang dimasukkan oleh atau atas nama orang yang memiliki kewajiban menjaga kerahasiaan tidak dapat digeledah, kecuali atas persetujuan orang tersebut. Data tersebut baru dapat digeledah apabila tidak melanggar prinsip menjaga kerahasiaan tersebut.

Untuk memeriksa bukti elektronik tersebut, penyidik harus mengambil salinan data dari perangkat komputer atau sistem yang digeledah. Salinan data tersebut harus dibuat dengan cara yang menjamin keaslian dan integritasnya. Penyidik harus menyimpan salinan data tersebut dalam media penyimpanan yang aman dan terpisah dari media penyimpanan aslinya. Penyidik juga harus membuat laporan tertulis tentang penggeledahan dan perekaman data tersebut.

Untuk mengelola bukti elektronik tersebut, penyidik harus menyerahkan salinan data tersebut kepada jaksa penuntut umum (officier van justitie) yang berwenang. Jaksa penuntut umum dapat memerintahkan penyidik untuk menghapus data asli dari perangkat komputer atau sistem yang digeledah, jika data tersebut tidak diperlukan lagi untuk penyelidikan atau penuntutan. Jaksa penuntut umum juga dapat memerintahkan penyidik untuk mengembalikan salinan data tersebut kepada pemiliknya, jika data tersebut tidak diperlukan lagi sebagai alat bukti.

Amerika Serikat
Di Amerika Serikat, bukti elektronik dapat berupa data atau informasi yang terdapat di dalam komputer atau disebut sebagai electronically stored information (ESI), atau bukti elektronik dalam bentuk komunikasi elektronik. Untuk mendapatkan bukti elektronik tersebut, penyidik harus mendapat surat perintah pengadilan (warrant) terlebih dahulu sebagaimana penggeledahan terhadap rumah atau tempat tertutup lainnya. Surat perintah pengadilan tersebut harus berisi deskripsi spesifik tentang tempat yang akan digeledah, barang-barang atau informasi yang akan dicari, dan alasan mengapa barang-barang atau informasi tersebut relevan dengan penyelidikan.

Untuk memeriksa bukti elektronik tersebut, penyidik harus mengambil salinan ESI dari komputer atau media penyimpanan lainnya yang digeledah. Salinan ESI tersebut harus dibuat dengan cara yang menjamin keaslian dan integritasnya. Penyidik harus menyimpan salinan ESI tersebut dalam media penyimpanan yang aman dan terpisah dari media penyimpanan aslinya. Penyidik juga harus membuat laporan tertulis tentang penggeledahan dan perekaman ESI tersebut.

Untuk mengelola bukti elektronik tersebut, penyidik harus menyerahkan salinan ESI tersebut kepada jaksa penuntut umum (prosecutor) yang berwenang. Jaksa penuntut umum dapat memerintahkan penyidik untuk menghapus ESI asli dari komputer atau media penyimpanan lainnya yang digeledah, jika ESI tersebut tidak diperlukan lagi untuk penyelidikan atau penuntutan. Jaksa penuntut umum juga dapat memerintahkan penyidik untuk mengembalikan salinan ESI tersebut kepada pemiliknya, jika ESI tersebut tidak diperlukan lagi sebagai alat bukti.

Inggris
Di Inggris, bukti elektronik dapat berupa data atau informasi yang terdapat di dalam komputer atau disebut sebagai computer evidence, atau bukti elektronik dalam bentuk komunikasi elektronik. Untuk mendapatkan bukti elektronik tersebut, penyidik harus mendapat izin dari hakim (judge) yang berwenang. Hakim dapat memberikan surat perintah penggeledahan dan perekaman data yang berisi tindak pidana yang diduga terjadi, nama atau deskripsi tersangka, dan fakta atau keadaan yang menunjukkan bahwa syarat-syarat penggeledahan telah terpenuhi. Penggeledahan dilakukan terhadap komputer atau media penyimpanan lainnya untuk mencari data yang tersimpan di dalamnya. Penyidik berhak menggunakan komputer atau media penyimpanan lainnya tersebut dengan persetujuan orang yang memiliki akses ke tempat yang digeledah. Data yang dimasukkan oleh atau atas nama orang yang memiliki kewajiban menjaga kerahasiaan tidak dapat digeledah, kecuali atas persetujuan orang tersebut. Data tersebut baru dapat digeledah apabila tidak melanggar prinsip menjaga kerahasiaan tersebut.

Untuk memeriksa bukti elektronik tersebut, penyidik harus mengambil salinan data dari komputer atau media penyimpanan lainnya yang digeledah. Salinan data tersebut harus dibuat dengan cara yang menjamin keaslian dan integritasnya. Penyidik harus menyimpan salinan data tersebut dalam media penyimpanan yang aman dan terpisah dari media penyimpanan aslinya. Penyidik juga harus membuat laporan tertulis tentang penggeledahan dan perekaman data tersebut.

Untuk mengelola bukti elektronik tersebut, penyidik harus menyerahkan salinan data tersebut kepada jaksa penuntut umum (Crown Prosecution Service) yang berwenang. Jaksa penuntut umum dapat memerintahkan penyidik untuk menghapus data asli dari komputer atau media penyimpanan lainnya yang digeledah, jika data tersebut tidak diperlukan lagi untuk penyelidikan atau penuntutan. Jaksa penuntut umum juga dapat memerintahkan penyidik untuk mengembalikan salinan data tersebut kepada pemiliknya, jika data tersebut tidak diperlukan lagi sebagai alat bukti.

Isu Dan Rekomendasi Terkait Penyitaan Informasi Atau Dokumen Elektronik Dalam Proses Peradilan Pidana
Penyitaan informasi atau dokumen elektronik merupakan salah satu upaya penyidik untuk mengumpulkan bukti dalam proses peradilan pidana. Namun, penyitaan ini sering menimbulkan permasalahan hukum dan teknis, terutama terkait dengan aspek perlindungan data pribadi, hak asasi manusia, dan keamanan siber. Oleh karena itu, perlu adanya kajian mendalam dan rekomendasi yang dapat memberikan pedoman bagi penyidik, penuntut umum, hakim, dan pihak terkait lainnya dalam melakukan penyitaan informasi atau dokumen elektronik.

Beberapa isu yang perlu dibahas dalam kaitannya dengan penyitaan informasi atau dokumen elektronik adalah sebagai berikut:

  1. Bagaimana definisi dan ruang lingkup informasi atau dokumen elektronik yang dapat disita dalam proses peradilan pidana?
  2. Bagaimana kriteria dan prosedur penyitaan informasi atau dokumen elektronik yang sesuai dengan prinsip-prinsip hukum acara pidana, seperti prinsip legalitas, proporsionalitas, subsidiaritas, dan akuntabilitas?
  3. Bagaimana mekanisme pengelolaan, penyimpanan, dan penghapusan informasi atau dokumen elektronik yang disita agar tidak terjadi penyalahgunaan, kebocoran, atau kerusakan data?
  4. Bagaimana perlindungan hak-hak pihak yang terkena dampak dari penyitaan informasi atau dokumen elektronik, seperti hak privasi, hak komunikasi, hak kekayaan intelektual, dan hak-hak lainnya?
  5. Bagaimana koordinasi dan kerjasama antara penyidik, penuntut umum, hakim, dan pihak terkait lainnya dalam melakukan penyitaan informasi atau dokumen elektronik, termasuk dengan penyedia layanan internet, penyedia aplikasi, dan penyedia platform digital?

Berdasarkan isu-isu di atas, beberapa rekomendasi yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:

  1. Perlu adanya revisi atau pembuatan peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus tentang penyitaan informasi atau dokumen elektronik dalam proses peradilan pidana, yang sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi serta standar internasional.
  2. Perlu adanya pembentukan tim khusus yang memiliki kompetensi dan kewenangan untuk melakukan penyitaan informasi atau dokumen elektronik, yang terdiri dari unsur-unsur penyidik, penuntut umum, hakim, ahli digital forensik, dan pihak terkait lainnya.
  3. Perlu adanya pembuatan pedoman teknis yang mengatur secara rinci tentang kriteria, prosedur, mekanisme, dan perlindungan hak-hak pihak dalam melakukan penyitaan informasi atau dokumen elektronik, yang dapat dijadikan acuan bagi tim khusus tersebut.
  4. Perlu adanya peningkatan kapasitas dan fasilitas bagi tim khusus tersebut dalam hal pengetahuan, keterampilan, peralatan, dan infrastruktur yang mendukung pelaksanaan penyitaan informasi atau dokumen elektronik.
  5. Perlu adanya pengawasan dan evaluasi secara berkala terhadap pelaksanaan penyitaan informasi atau dokumen elektronik oleh tim khusus tersebut, yang melibatkan unsur-unsur internal maupun eksternal.

Demikianlah beberapa isu dan rekomendasi terkait penyitaan informasi atau dokumen elektronik dalam proses peradilan pidana. Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan pemangku kepentingan yang berkecimpung dalam bidang hukum pidana dan teknologi informasi. Terima kasih.

Referensi:
Ebook ANALISIS KESENJANGAN PENGATURAN TENTANG PEROLEHAN, PEMERIKSAAN, DAN PENGELOLAAN BUKTI ELEKTRONIK (ELECTRONIC EVIDENCE